Terjemahan: Pernyataan Keprihatinan Ahli Biologi Harimau

Terjemahan: Pernyataan Keprihatinan Ahli Biologi Harimau

Naskah pertama ditayangkan pada blog AFadhillah pada tanggal 19 April 2016

This is an English-Bahasa Indonesia translation from the original text from newsroom of Wildlife Conservation Society’s website.

Terjemahan dari sumber: newsroom wcs.org

Minggu, 10 April 2016, WWF dan GTF menerbitkan sebuah laporan yang menyatakan bahwa populasi harimau liar mengalami peningkatan, dan sejalan dengan rencana penggandaan dalam sebuah decade. Kami tidak melihat laporan ini1 dan implikasi-implikasinya menyakinkan secara keilmuan.

  1. Setelah mencurahkan hidup kami untuk mencoba memahami dan menyelamatkan Harimau-Harimau liar, kami percaya bahwa konservasi harus dipandu dengan ilmu pengetahuan yang tepat. Menggunakan metodologi survei yang cacat dapat meyebabkan kesimpulan yang salah, sebuah ilusi keberhasilan, dan penurunan usaha konservasi, padahal pada kenyataannya perhatian terhadap ancaman serius sedang diperlukan. Metodologi-metodologi yang cacat dan data yang tidak lengkap untuk menghasilkan “berita” yang terasa baik adalah sebuah penghinaan/tidak adil bagi usaha konservasi, karena Harimau-Harimau saat ini hanya menempati 7% dari kawasan sejarahnya2. Evaluasi IUCN baru-baru ini menunjukkan 40% habitat hilang selama 10 tahun terakhir, dan sebuah lonjakan tekanan akibat perburuan di berbagai tempat. Kamboja, Vietnam, Laos, dan Tiongkok sudah sebenarnya kehilangan populasi harimau yang layak di beberapa tahun belakangan. Saat ini bukan waktu untuk para pelestari untuk berhenti memperhatikan dan saling memuji satu sama lain.
  2. Tidak dapat disangkal bahwa para pengelola satwaliar di berbagai tempat di India dan bahkan di cagar alam khusus di Asia Tenggara dan Rusia telah melakukan usaha-usaha konservasi yang patut dipuji, memimpin pemulihan beberapa populasi harimau khusus2. India telah berinvestasi besar-besaran untuk pemulihan beberapa populasi harimau selama empat decade belakangan. Hal ini dapat terjadi dengan dukungan politik yang kuat, dukungan administratif dan masyarakat umum jarang dapat berimbang di tempat lain.
  3. Pemulihan harimau yang sporadis harus diawasi menggunakan kamera inframerah (camera trap) yang canggih atau survei DNA. Studi ilmiah yang teliti di India, Thailand dan Rusia4-6 menunjukkan bahwa hal ini sudah dilakukan. Namun studi ini juga menunjukkan bahwa kecepatan pemulihan harimau lambat dan tidak mencapai tingkat yang diharapkan untuk menggandakan jumlah harimau dalam sebuah dekade4-6.
  4. Perkiraan jumlah harimau untuk lansekap/bentang yang luas, kawasan-kawasan, dan negara-negara yang saat ini populer di media global sebagian besar menggunakan metodologi yang lemah7-9. Kadang-kadang menggunakan interpolasi survei jejak harimau, atau hanya berdasar survei jejak itu sendiri. Survei jejak dapat bermanfaat untuk mengetahui lokasi keberadaan harimau, namun tidak dapat digunakan untuk menghitung jumlah mereka. Menerjemahkan jumlah jejak menjadi jumlah harimau menimbulkan beberapa masalah statistik yang tidak dapat dipecahkan9, dimana akan menyebabkan pernyataan perubahan jumlah harimau7-9 fundamental yang cacat.
  5. Sumber populasi-populasi harimau yang padat dan dapat menghasilkan “kelebihan” hewan yang dapat berpencar dan memperluas populasi-populasi, saat ini menempati kurang dari 10% sisa 1,2 juta km persegi habitat-habitat harimau2. Hampir 70% harimau liar bertahan diantara sumber lokasi-lokasi ini. Mereka pulih perlahan, hanya di beberapa cagar alam yang perlindungannya telah ditingkatkan. Di luar lokasi sumber terdapat “sink landscapes” luas yang terus-menerus kehilangan harimau dan habitat akibat perburuan dan tekanan pembangunan.
  6. Dengan pertimbangan di atas, bahkan dengan menggunakan dugaan jumlah harimau sebagai data berharga, perhitungan sederhana menunjukkan bahwa penggandaan jumlah harimau di dunia dalam sepuluh tahun seperti yang diharapkan dalam laporan1 bukan merupakan proposisi yang realistis. Dengan mengasumsi 70-90% harimau liar di populasi sumber tumbuh lambat4-6, antisipasi penggandaan jumlah harimau global membutuhkan peningkatan 364-831% di sink landscape. Kami percaya hal ini merupakan skenario yang tidak masuk akal.
  7. Daripada terlibat dengan permainan angka harimau yang mengalihkan dari keadaan sebenarnya, para pelestari saat ini harus fokus pada peningkatan dan perluasan pemulihan, dan monitoring sumber populasi, dimana semua usaha perlindungan habitat yang tersisa dan pertautannya (linkage) dipandu oleh ilmu pengetahuan terbaik.

 

Ullas Karanth, Ph.D.; Director for Science Asia-Wildlife Conservation Society; Email: ukaranth@wcs.org

Dale Miquelle, Ph.D.; Director, Russia Program-Wildlife Conservation Society; Email: dmiquelle@wcs.org

John Goodrich, Ph.D.; Senior Director, Tiger Program-Panthera; Email: jgoodrich@panthera.org

Arjun Gopalaswamy, Ph.D.; Research Associate, Zoology, University of Oxford, UK; Email: 
arjungswamy@gmail.com 

Jakarta, 19 April 2016

………….

Original text:

Statement of Concern by Tiger Biologists

The following statement was released today concerning the status of tigers.

  • Date April 15, 2016
  • Media Contact In This Press Release
  • Categories: India, Tigers

The following statement was released today concerning the status of tigers:

On Sunday, April 10th, the World Wildlife Fund (WWF) and Global Tiger Forum (GTF) issued a report stating that the world’s wild tiger population was on the rise, and on track for a doubling in a decade. We do not find this report1 and its implications scientifically convincing.

  1. Having devoted years of our lives to trying to understand and save wild tigers, we believe their conservation should be guided by the best possible science. Using flawed survey methodologies can lead to incorrect conclusions, an illusion of success, and slackening of conservation efforts, when in reality grave concern is called for.  Glossing over serious methodological flaws, or weak and incomplete data to generate feel-good ‘news’ is a disservice to conservation, because tigers now occupy only 7% of their historic range 2. A recent World Conservation Union (IUCN) assessment3 showed 40% habitat loss in the last decade, and a spike in poaching pressure in many regions. Cambodia, Vietnam, Lao PDR and China have virtually lost viable tiger populations in recent years. This is not a time for conservationists to take their eyes off the ball and pat each other on the back.
  2. There is no doubt that wildlife managers in parts of India and even in specific reserves in South East Asia and Russia have made commendable conservation efforts, leading to recoveries in specific tiger populations. India has invested massively in recovering several tiger populations2 over the last four decades. This has been possible because of strong political, administrative and public support rarely matched anywhere else.
  3. Such sporadic tiger recoveries should be monitored using statistically robust camera trap or DNA surveys. Rigorous scientific studies in India, Thailand and Russia4-6 demonstrate this can indeed be done. But these studies also indicate that tiger recovery rates are slow and not likely to attain levels necessary for the doubling of wild tiger numbers within a decade4-6.
  4. Estimates of tiger numbers for large landscapes, regions and countries currently in vogue in the global media for a number of countries are largely derived from weak methodologies7-9. They are sometimes based on extrapolations from tiger spoor (tracks and droppings) surveys, or spoor surveys alone.  While spoor surveys can be useful for knowing where tigers occur, they are not useful for reliably counting their numbers. Translating spoor counts to tiger numbers poses several statistical problems that remain unresolved9, which can lead to fundamentally flawed claims of changes in tiger numbers7-9.
  5. Source populations of tigers that occur at high densities and which are likely to produce ‘surplus’ animals that can disperse and expand populations now occupy less than 10% of the remaining 1.2 million square kilometers of tiger habitat2. Almost 70% of wild tigers survive within these source sites. They are recovering slowly, only in some reserves4-6 where protection has improved. Outside these source sites lie vast ‘sink landscapes’, which are continuing to lose tigers and habitat due to hunting as well as rural and developmental pressures.
  6. With the above considerations in view, even taking these putative tiger numbers at face value, simple calculations show that doubling of the world’s tigers in ten years as hoped for in the report1 is not a realistic proposition. Assuming 70-90% of wild tigers are in source populations with slow growth4-6, such an anticipated doubling of global tiger numbers would demand an increase between 364-831% in these sink landscapes. We believe this to be an unlikely scenario.
  7. Rather than engaging in these tiger number games that distract them from reality, conservationists must now focus on enhancing and expanding recovery and monitoring of source populations, while protecting their remaining habitat and their linkages, all the while being guided by the best of science.

 

Ullas Karanth, Ph.D

Director for Science Asia-Wildlife Conservation Society

ukaranth@wcs.org

 

Dale Miquelle, Ph.D.

Director, Russia Program-Wildlife Conservation Society

dmiquelle@wcs.org

 

John Goodrich, Ph.D.

Senior Director, Tiger Program-Panthera

jgoodrich@panthera.org

 

Arjun Gopalaswamy, Ph.D.

Research Associate, Zoology,

University of Oxford, UK
arjungswamy@gmail.com

 

Citations

  1. WWF. Global wild tiger population increases, but still a long way to go. 2016. Available: http://wwf.panda.org/wwf_news/?uNewsID=265197
  2.          Walston J, Robinson JG, Bennett EL, Breitenmoser U, da Fonseca GAB, Goodrich J, et al. Bringing the tiger backfrom the brink—the six percent solution. PLoS Biol. 2010;8: e1000485.
  3. Goodrich J, Lynam A, Miquelle D, Wibisono H, Kawanishi K, Pattanavibool A, Htun, S., Tempa, T., Karki, J., Jhala, Y., Karanth, K U.. Panthera tigris. The IUCN Red List of Threatened Species 2015: e.T15955A50659951. 2015. Available: http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2015.2.RLTS.T15955A50659951.en
  4. Karanth KU, Nichols JD, Kumar NS, Hines JE. Assessing tiger population dynamics using photographic capture-recapture sampling. Ecology. 2006;87: 2925–2937.
  5. Duangchantrasiri S, Umponjan M, Simcharoen S, Pattanavibool A, Chaiwattana S, Maneerat S, et al. Dynamics of a low-density tiger population in Southeast Asia in the context of improved law enforcement. Conserv Biol. 2016; DOI: 10.1111/cobi.12655. doi:10.1111/cobi.12655
  6. Miquelle DG, Smirnov EN, Zaumyslova OY, Soutyrina S V, Johnson DH. Population dynamics of Amur tiger (P. t. altaica, Temminck 1884) in Sikhote-Alin Zapovednik: 1966-2012. Integr Zool. 2015;10: 315–328.
  7. Karanth KU, Nichols JD, Seidensticker J, Dinerstein E, Smith JLD, McDougal C, Johhnsingh, AJT, Chundawat, R, Thapar, V. Science deficiency in conservation practice: The monitoring of tiger populations in India. Anim Conserv. 2003;6: 141–146.
  8. Karanth KU. India’s Tiger Counts: The Long March to Reliable Science. Econ Polit Weekly. 2011;XLVI: 22–25.
  9. Gopalaswamy AM, Delampady M, Karanth KU, Kumar NS, Macdonald DW. An examination of index-calibration experiments: counting tigers at macroecological scales. Yoccoz N, editor. Methods Ecol Evol. 2015;6: 1055–1066. doi:10.1111/2041-210X.12351.

Source: Newsroom wcs.org

-end-

Terjemahan: Ancaman Ketahanan Pangan Inggris

Terjemahan: Ancaman Ketahanan Pangan Inggris

Artikel pertama ditayangkan pada blog AFadhillah, pada tanggal 3 Februari 2016

Terjemahan:

Inggris mengimpor 40% dari total makanan konsumsi dan proporsinya meningkat.

Inggris mempunyai industri pertanian yang sangat maju, namun banyak faktor dalam negeri dan internasional mempengaruhi produksi dan harga makanan konsumsi di Inggris. Hal ini terbukti selama terjadi kenaikan harga pangan dunia pada tahun 2008.

Rantai makanan dan minuman merupakan satu-satunya industri terbesar di Inggris dan merupakan 7% dari pendapat nasional bruto Inggris yang mempekerjakan 3,7 juta orang dan bernilai £80 M per-tahun (ref 1).

Namun meskipun Inggris mempunyai sektor pertanian yang berkembang dengan mengekspor makanan dan minuman senilai £12 M pada tahun 2007 (ref 2), Inggris tidak dapat memenuhi kebutuhan produksi makanan; mengimpor 40% total makanan konsumsi dan proporsinya meningkat (ref 1). Sebagai Negara penjual makanan, Inggris bergantung pada impor dan pasar ekspor yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dibalik rak-rak supermarket yang selalu terlihat penuh terdapat rantai suplai yang sensitif terhadap keadaan ekonomi dan lingkungan. Jumlahnya hujan mempengaruhi hasil panen. Munculnya penyakit eksotis seperti bluetongue dan demam babi Afrika  mengancam industri peternakan.

Inggris juga terpengaruh rentannya pasar produk makanan hewan global yang sangat mempengaruhi harga supermarket. Di dunia yang saling berhubungan, konsumenlah yang harus membayar lebih seperti yang terjadi pada tahun 2008.

 

Kenaikan Harga tahun 2008

Di awal 2008 menjadi puncak peningkatan harga makanan yang mencengangkan. Kenaikan harga mengakhiri penurunan jangka panjang harga relatif makanan di Inggris, dan sedikit orang sangsi harga dapat kembali turun serendah dulu lagi. Di pasar global, selama 12 bulan sebelum bulan Maret 2008 terlihat peningkatan harga gandum sebanyak 130%, kedelai hingga 87% dan beras melonjak 74% (ref 3).

Kenaikan harga komoditas di pasar global memberi pengaruh yang cepat dan signifikan terhadap konsumen Inggris. Dalam sebuah survei oleh kantor berita BBC tentang belanja rumah tangga UK, barang-barang umum seperti makanan kaleng meningkat 15% dan 7 jenis barang dalam survei meningkat lebih dari 40%. Sekantong roti berisi empat buah roti croissants harganya naik 47.4% dan sekantong daging ham 125g meningkat sampai 45.4%. Survei lain menunjukkan bahwa harga buah dan sayuran paling meningkat – naik sampai hampir tiga kali lipat di supermarket pada 2007-2008 (ref 3).

Kenaikan harga makanan paling banyak dirasakan oleh kelompok keluarga ekonomi rendah. Kelompok miskin, 10% rumah tangga Inggris, menghabiskan 15% pengeluaran untuk makanan selama 2005-2006 (setelah harga makanan meningkat signifikan), sebuah angka menunjukkan 10% orang kaya menghabiskan 7% pengeluaran untuk makanan. Hal ini disebabkan karena konsumen kelas bawah menghabiskan proporsi belanja terutama pada susu, telur dan roti – makanan pokok yang paling dipengaruhi oleh kenaikan harga (ref 1, ref 4).

 

Dari Buruk menjadi Parah

Tekanan pada ketahananan pangan Inggris tetap berlangsung. Peningkatan populasi global dan perubahan pola konsumsi menyebabkan peningkatan permintaan makanan dan berkontribusi pada kecenderungan kenaikan harga. Namun ancaman ketahanan pangan Inggris dapat lebih serius jika peningkatan permintaan global dikombinasi dengan masalah potensial lainnya. Masalah yang muncul salah satunya adalah virus bluetongue. Penyakit yang banyak menyerang kambing ini ditularkan oleh gigitan agas Culicoides. Cuaca yang menghangat belakangan ini membuat cakupan geografis agas bergerak ke utara. Agas tiba di Belanda pada tahun 2006 dan wabah pertama kali tercatat di Inggris pada 2007. Sejak itu penyakit tersebut bergerak menyerang Norwegia di tahun 2009.

Dr. Simon Carpenter dari Institut Kesehatan Hewan menyatakan bahwa kemungkinanan satu-satunya cara virus tersebut menyebar adalah melalui agas, namun varietas virus stereotip-A kemungkinan juga menyebar antar plasenta, dari kambing ke domba.

Hal ini berarti, jika virus ini muncul lagi di Inggris di masa mendatang, virus dapat menyerang kawanan domba Inggris lagi. “Selama musim dingin agas berbentuk larva dan tidak menyebarkan virus sampai saat berkembangbiak,” ujar Carpenter. “Hal ini lah yang menjadi alasan virus ini tampak sudah terkendali selama musim dingin sampai setelah musim dingin. Padahal biasanya sudah melumpuhkan populasi di utara.”

Untungnya, pada tahun 2008 sebuah program vaksin untuk menanggulangi wabah penyakit  telah menyelamatkan sekitar £460 juta dan 10.000 pekerjaan di Inggris (ref 5). Namun bluetongue dipastikan kembali dan sudah mempunyai basis di Inggris, yang akan berakibat buruk pada konsumen dan perekonomian Inggris. Ekspor domba akan berkurang, dan kelangkaan daging akan menyebabkan peningkatan harga daging domba serta berakibat pada harga daging lainnya.

 

Berbagai Ancaman

Jika bluetongue menyerang bersamaan dengan penyakit lain, salah satu contohnya yang menyerang gandum, penyakit dapat diatasi satu per satu, namun efek gabungannya dapat menjadi bencana. Pada tahun 2008, panen gandum di Inggris tercatat sebanyak 17.2 Juta ton (ref 6,ref 7). Jika tanaman gandum patogen diserang, Inggris sebagai negara pengekspor sereal dapat mengalami kerugian ekonomi miliaran Pound sterling.

Sayangnya hanya sebuah spesies yang muncul. Varietas Ug99 yang menyerang ‘batang’ atau disebut jamur ‘karat gandum ‘ pertama kali ditemukan di Uganda pada tahun 1999 (Awal singkatan Ug berasal) dan sejak itu menyebar ke Ethiopia, Kenya, Sudan, dan menyebrangi laut merah ke Yemen dan Iran (ref 8).

Gandum-gandum di dunia bertahan dengan menggunakan perlindungan atas ketiga gen anti-karat utama. Para ahli menyatakan jika wabah mencapai Pakistan dan India, atau negara penghasil gandum lainnya, maka akan menjadi bencana. Karat gandum dapat menginfeksi tanaman yang sehat dalam hitungan jam dan mengubahnya menjadi mulsa dalam beberapa hari. Para peneliti sekarang berlomba dengan waktu untuk mengembangkan vaksin baru untuk gandum tahan Ug99.

Masalah lain yang juga dialami oleh negara penghasil makanan lain adalah kekhawatiran terhadap penurunan populasi serangga penyerbuk, seperti lebah, ngengat dan kupu-kupu. Di Inggris, populasi lebah turun 10-15% selama 2 tahun terakhir. Penurunan juga dapat tampak di Eropa dan Amerika Utara (ref 9).

Penyebab penurunan tidak ketahui dengan jelas. Dengan begitu banyak jenis species yang terpengaruh, penurunan populasi kemungkinan diakibatkan berbagai macam aspek, dan tidak satu pun menjadi alasan penurunan angka yang mengkhawatirkan ini.

Apapun sebabnya, kita harus mencari tahu penyebabnya. Tanaman disemai oleh tiga serangga ini, dan selanjutnya jika populasinya menurun dapat menyebabkan peningkatan harga makanan dan berpotensi kekurangan.

Perubahan iklim lokal juga menjadi masalah di Inggris, dimana musim dingin diprediksi lebih hangat dan basah serta musim panas yang kering. Cakupan dan jenis hama, penyakit dan gulma di Inggris kemungkinan berubah signifikan. Contohnya, keparahan batang phoma epidemic busuk diprediksi meningkat, namun kemunculan bercak daun tipis akan menurun (ref 10).

Akan muncul masalah baru terhadap ketahanan pestisida. Naiknya suhu dapat menyebabkan peningkatan angka generasi setiap tahun, yang membuat waktu ketahanan naik, dan musim dingin yang lebih hangat meningkatkan kelangsungan hidup daya tahan populasi hama.

 

Dunia yang saling berhubungan

Jika hasil panen dipengaruhi secara signifikan oleh penurunan serangga penyemai, atau bahkan proporsi kecil populasi kambing Inggris menyerah pada bluetongue, ekspor akan dibatasi, pekerjaan akan hilang, dan makanan terbuang. Terlebih lagi, pemusnahan kambing atau ternak akan berakibat pukulan pada harga daging, sehingga membuat mereka gulung tikar, terutama karena banyak sereal digunakan untuk makanan ternak dan permintaan daging secara global meningkat di hampir seluruh populasi negara-negara.

Oleh sebab itu, masalah ketahanan pangan di Inggris mempengaruhi dunia, seperti juga masalah dunia berpengaruh terhadap Inggris. Jika Inggris terpengaruh kenaikan harga tahun 2008, dimana harga standar makanan sehat seperti buah dan sayuran meningkat sampai lebih dari 30% di supermarket besar, maka diperlukan sebuah usaha besar dan berkesinambungan untuk meneliti masalah dan memberi jalan keluar bagi pertanian umumnya serta toko-toko diseluruh negeri.

 

Rujukan

Materi lebih lanjut pada resources.

Jon West’s presentation at workshop: Food security and sustainability – can we avert a food crisis?

 

***

Sumber naskah asli dan gambar: http://www.foodsecurity.ac.uk/issue/uk.html